A.
Pendahuluan
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah
exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan
bahwa resiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Resiko bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi
(exposure to the change of loss) (1998). Sedangkan resiko dalam konteks
perbankan menurut Adiwarman (2004) merupakan suatu kejadian potensial, baik
yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan
(unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank
Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa lembaga keuangan syariah
dapat menghadapi dua jenis risiko yaitu risiko yang mirip dengan risiko yang dihadapi
oleh lembaga keuangan konvensional dan risiko yang khusus terjadi karena mereka
menerapkan kesesuaian terhadap syari'at agama Islam. Pembahasan sebelumnya juga
telah membahas akan survey lembaga keuangan syariah yang menggunakan manajemen
risiko dalam memitigasi risiko yang terjadi terhadap industry keuangannya. Yang
memiliki hasil bahwa akad pembiayaan berbasis bagi hasil cenderung lebih
berisiko disbandingkan dengan akad yang berbasis jual beli.
Akibatnya teknik identifikasi dan manajemen risiko yang harus tersedia
untuk lembaga keuangan syariah menjadi dua jenis. Pertama adalah terdiri dari
teknik basic, seperti pelaporan risiko, audit internal dan eksternal,
analisis GAP, RAROC, internal rating, dll, yang konsisten dengan
prinsip-prinsip Islam keuangan. Tipe kedua terdiri dari teknik yang harus dikembangkan
atau diadaptasi dalam pandangan kesesuaian terhadap Kepatuhan syariah.
Oleh karena itu pembahasan teknik manajemen risiko lembaga keuangan
syariah menjadi tantangan tersendiri. Dalam sebuah penelitian, tantangan ini tidak
dapat sepenuhnya diidentifikasi, namun juga tidak dapat diselesaikan bahkan
sebagiannya (2001). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memulai diskusi pada
beberapa aspek risiko unik yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah dengan
maksud untuk menyoroti tantangan dan prospek menguranginya namun masih dalam
kerangka prinsip-prinsip keuangan Islam.
B.
Sikap
terhadap Risiko
Risiko memiliki arti penting dalam keuangan Islam. Kedua dalil ushulul-fiqh
yang menjadi dasar dari keuangan Islam, yaitu al khirāju bi al-dhamān dan al ghurmu
bi al-ghurmi sebenarnya pembahasan yang berbasis pada risiko. Bahwa dari
dua Bersama dua aksioma tersebut bahwa untuk mendapatkan sebuah keuntungan
diperlukan adanya resiko dengan tanggung jawab kehilangan asset tersebut.
Sedangkan lembaga keuangan yang berbasis pada bunga memisahkan resiko
dari tanggung jawab kerugian dengan melindungi kedua jumlah pokok pinjaman
serta pengembalian tetap. Oleh karena itu, kontrak ini mentransfer risiko
pinjaman kepada peminjam sementara pemberi pinjaman mempertahankan kepemilikan
dana. Keuangan Islam melarang pemisahan hak kerugian dari tanggung jawab untuk kepemilikan. Dengan demikian transfer risiko tidak disarankan dan risk
sharing dianjurkan.(2001)
Literatur teoritis mencirikan ekonomi Islam dengan PLS, karena itu
mengabaikan perbedaan mendasar antara dua jenis risiko
dan implikasinya terhadap stabilitas
lembaga keuangan Islam. Ciri ini berbeda dengan lembaga keungan konvensional yang memiliki skema kreditur-debitur yang berbasis pada peminjaman uang. Ini adalah sifat dari bisnis perlembagan keuangan yang memiliki aset melebihi modal lembaga keuangan beberapa kali. Lembaga keuangan syariah bukan merupakan pengecualian untuk aturan umum ini terutama karena pemanfaatannya deposito permintaan untuk aset pembiayaan. Ulama Islam sepakat bahwa dalam kondisi seperti itu, lembaga keuangan bekerja atas nama deposan harus sangat berhati-hati tentang risks.
lembaga keuangan Islam. Ciri ini berbeda dengan lembaga keungan konvensional yang memiliki skema kreditur-debitur yang berbasis pada peminjaman uang. Ini adalah sifat dari bisnis perlembagan keuangan yang memiliki aset melebihi modal lembaga keuangan beberapa kali. Lembaga keuangan syariah bukan merupakan pengecualian untuk aturan umum ini terutama karena pemanfaatannya deposito permintaan untuk aset pembiayaan. Ulama Islam sepakat bahwa dalam kondisi seperti itu, lembaga keuangan bekerja atas nama deposan harus sangat berhati-hati tentang risks.
Dari diskusi singkat ini kita dapat memperoleh dua kesimpulan penting mengenai sikap ulama
Islam terhadap risiko. Pertama,
kewajiban dan tanggung jawab pengembalian dari aset tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Memang, kondisi ini memiliki implikasi yang luas untuk semua kontrak
keuangan syariah. kedua, orang biasa tidak menyukai risiko; lembaga keuangan bekerja atas nama mereka harus berhati-hati dan menghindari pengambilan risiko
yang berlebihan.
C. Toleransi Risiko Keuangan (sebuah
perbandingan)
Dari diskusi singkat di atas muncul beberapa
pertanyaan terkait mitigasi resiko yang harus dihadapi oleh lembaga keuangan
syariah yaitu, Apakah lembaga keuangan syariah menginginkan untuk membawa
tingkat resiko keuangan yang sama seperti lembaga keuangan konvensional? Atau
karena sifat dari mode Islam keuangan, lembaga keuangan syariah harus terkena risiko lebih dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional?
Sulit untuk membawa praktek dan teori
bersama-sama untuk jawaban dari pertanyaan ini. Dari perspektif praktis, lembaga
keuangan harus menghilangkan risiko keuangan mereka
jika mungkin. Sebagai contoh, tanpa risiko kredit mereka tidak akan diminta untuk
membagi bagian dari pendapatan mereka saat ini cadangan kerugian kredit (PPAP). Mereka dapat menggunakan modal yang lebih efisien untuk mengakumulasi aset, dan memaksimalkan tingkat pengembalian ekuitas mereka. Hal ini dapat memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk membayar keuntungan yang lebih tinggi untuk pemegang deposito investasi yang mengambil lebih banyak risiko dibandingkan dengan deposan lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu lembaga keuangan syariah dapat mempertahankan efisiensi kompetitif.
jika mungkin. Sebagai contoh, tanpa risiko kredit mereka tidak akan diminta untuk
membagi bagian dari pendapatan mereka saat ini cadangan kerugian kredit (PPAP). Mereka dapat menggunakan modal yang lebih efisien untuk mengakumulasi aset, dan memaksimalkan tingkat pengembalian ekuitas mereka. Hal ini dapat memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk membayar keuntungan yang lebih tinggi untuk pemegang deposito investasi yang mengambil lebih banyak risiko dibandingkan dengan deposan lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu lembaga keuangan syariah dapat mempertahankan efisiensi kompetitif.
Oleh karena itu, adanya risiko keuangan adalah
biaya yang tidak diinginkan untuk
Lembaga keuangan syariah, tepatnya dengan cara yang sama seperti yang diinginkan untuk
lembaga keuangan konvensional. Jika lembaga keuangan syariah harus membawa tingkat risiko keuangan yang sama sebagai lembaga keuangan konvensional, mereka membutuhkan penyederhanakan dan pemurnian mode Islam keuangan untuk membuat profil risiko mode ini setara dengan profil risiko kredit konvensional berbasis bunga.(2001)
Lembaga keuangan syariah, tepatnya dengan cara yang sama seperti yang diinginkan untuk
lembaga keuangan konvensional. Jika lembaga keuangan syariah harus membawa tingkat risiko keuangan yang sama sebagai lembaga keuangan konvensional, mereka membutuhkan penyederhanakan dan pemurnian mode Islam keuangan untuk membuat profil risiko mode ini setara dengan profil risiko kredit konvensional berbasis bunga.(2001)
Namun, dari perspektif teoritis, dalam hal
ini, bahwa tantangan adalah sebagai akibat dari penyederhanaan seperti itu dan
penyempurnaan mode keuangan Islam dapat kehilangan karakteristik Islam mereka
dan karena itulah raison d'etre[1]
lembaga keuangan syariah.
Jadi dari perspektif tersebut, mungkin tidak dapat dilakukan.
Jadi dari perspektif tersebut, mungkin tidak dapat dilakukan.
Hal ini karena semua mode keuangan Islam didasarkan
pada transaksi sector riil dan lembaga keuangan diharapkan untuk mengambil
tingkat tertentu risiko kepemilikan untuk membenarkan kembalinya keuangan.
Untuk sejauh mana keberadaan tingkat yang tak terelakkan ini tambahan risiko di
lembaga keuangan syariah dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional, lembaga
keuangan syariah akan perlu untuk menjaga tambahan modal dan mengembangkan
pengendalian internal dan teknik manajemen risiko yang lebih ketat.
Pada dasarnya apa saja yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan
bank syariah telah diatur oleh beberapa pembuat standar untuk intitusi keuangan
Islam.. Bank syariah pun harus konsisten dalam menjalankan operasinya sesuai
dengan prinsip dan nilai Islam. Dalam Haniffa dan Hudaib (2007), disebutkan
bahwa terdapat lima perbedaan karakteristik bank syariah dibandingkan
kompetitornya (bank konvensional), yaitu: (1) dasar nilai dan filosofi, (2)
produk dan layanan yang bebas bunga (3) kesepakatan yang hanya diperkenankan
sesuai hukum Islam, (4) fokus pada pengembangan dan tujuan sosial, dan (5)
adanya dewan pengawas syariah (DPS).
Kajian manajemen risiko memang tengah
naik daun. Lembaga keuangan termasuk lembaga keuangan syariah, setidaknya telah
mengakui bahwa mereka harus memperhatikan cara-cara untuk memitigasi risiko
agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas
nasabah. Oleh karena itu lembaga keuangan-lembaga keuangan tengah berupaya pada
penerapan manajemen risiko yang merupakan proses berkesinambungan serta memakan
banyak pikiran, tenaga, dan uang.
Secara historis penerapan manajemen risiko pada
lembaga keuangan, dalam hal ini BI sendiri baru mulai menerapkan aturan
perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada lembaga keuangan sejak
1992Sementara itu, lembaga keuangan dengan prinsip syariah lahir pertama kali
di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem perlembaga
keuanganan syariah, hal ini merupakan tantangan yang berat. Lembaga keuangan
syariahpun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perlembaga
keuanganan konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perlembaga
keuanganan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem
dan mengembangkan teknik manajemen risiko (2009).
Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB), telah merumuskan
prinsip-prinsip manajemen risiko bagi lembaga keuangan dan lembaga keuangan
dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005 yang lalu, exposure draft
yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft
tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga
keuangan syariah mengacu pada Basel Accord[2]
II (yang juga diterapkan perlembaga keuanganan konvensional) dan
disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.(2009)
Lembaga keuangan syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik
(khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca lembaga keuangan syariah yang
berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit
and loss sharing) yang dilakukan lembaga keuangan
syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal
risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk
merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi lembaga keuangan syariah.
Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi
model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah. Konsekuensinya,
teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan
pengelolaan risiko pada lembaga keuangan syariah dibedakan menjadi dua jenis.
Teknik-teknik standar yang digunakan lembaga keuangan konvesional, asalkan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada lembaga
keuangan syariah. Beberapa di antaranya, GAP analysis, maturity matching,
internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC). (2001)
Dalam
pengembangannya ke depan, perlembaga keuanganan syariah menghadapi tantangan
yang tidak ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti,
pemilihan instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip syariah termasuk juga
instrumen pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging
(lindung nilai ) terhadap risiko. Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel
Accord II, maka pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko lembaga
keuangan konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di lembaga
keuangan syariah.
D.
Resiko yang di hadapi lembaga keuangan syariah
Sedikit berbeda dengan apa yang di sampaikan
oleh khan dan di kutip oleh pemateri sebelumnya, resiko yang di hadapi oleh
lembaga keuangan syariah yang dihadapi sesuai dengan peraturan bank indonesia nomor 13/23/PBI/2011 dimana
risiko yang harus dimitigasi oleh lembaga keuangan syariah adalah (2011)
1.
Risiko
Kredit
adalah
Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada
Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
2.
Risiko
Pasar
adalah
Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga
pasar, antara lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat iperdagangkan atau disewakan.
3.
Risiko
Likuiditas
adalah
Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo
dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang
dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
Risiko
likuiditas dikategorikan menjadi (2005):
a. Risiko Likuiditas Pasar, yaitu risiko
yang timbul karena bank tidak mampu melakukan o_setting posisi tertentu dengan
harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau gangguan
pasar (market disruption).
b. Risiko Likuiditas Pendanaan, yaitu risiko
yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh
pendanaan dari sumber dana lain.
4.
Risiko
Operasional
adalah
Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system, dan/atau adanya kejadian kejadian
eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
5.
Risiko
Hukum
adalah
Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko Reputasi
adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber
dari persepsi negatif terhadap Bank.
6.
Risiko
Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan bisnis.
7.
Risiko
Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, serta Prinsip Syariah.
8.
Risiko
Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal
hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat
imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi
perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank.
9.
Risiko
Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat Bank ikut menanggung
kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis
profit and loss sharing.
Beberapa cara dalam memitigasi resiko
pembayaran tiap akad dalam perbankan syariah
Menurut
kana da beberapa cara yang bersifat kasuistik yang dapat memitigasi beberapa resiko
pembayaran yang mungkin terjadi pada akad perbankan syariah (2001). Gharar (ketidakpastian hasil yang disebabkan
oleh kondisi ambigu pada kontrak pertukaran yang ditangguhkan(angsur)) bisa
menjadi ringan dan tidak dapat dihindari, tetapi juga bisa menjadi berlebihan dan menyebabkan ketidakadilan, kegagalan kontrak dan default. Diperlukan perjanjian kontrak yang tepat antara pihak
yang terlibat sebagai teknik pengendalian risiko. Sejumlah ini dapat disebut sebagai contoh.
a.
Fluktuasi harga setelah menandatangani kontrak
Salam dapat dianggap sebagai
halangan untuk memenuhi kewajiban kontrak. Oleh karena itu jika harga,
misalnya, gandum setelah penandatanganan kontrak dan menerima harga di muka, penumbuh gandum akan memiliki keinginan merusak kontrak. Risiko ini dapat diminimalkan oleh klausul dalam kontrak yang menunjukkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang menerima tingkat tertentu pada fluktuasi harga, tetapi di luar itu pihak yang memperoleh akan mengkompensasi pihak yang dirugikan oleh pengaruh pergerakan harga. Di Sudan, sebuah kontrak seperti Pengaturan ini dikenal sebagai Band al-Ihsān (kebaikan klausul) yang kini menjadi fitur biasa dari kontrak Salam.
halangan untuk memenuhi kewajiban kontrak. Oleh karena itu jika harga,
misalnya, gandum setelah penandatanganan kontrak dan menerima harga di muka, penumbuh gandum akan memiliki keinginan merusak kontrak. Risiko ini dapat diminimalkan oleh klausul dalam kontrak yang menunjukkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang menerima tingkat tertentu pada fluktuasi harga, tetapi di luar itu pihak yang memperoleh akan mengkompensasi pihak yang dirugikan oleh pengaruh pergerakan harga. Di Sudan, sebuah kontrak seperti Pengaturan ini dikenal sebagai Band al-Ihsān (kebaikan klausul) yang kini menjadi fitur biasa dari kontrak Salam.
b.
Dalam Istishnā', kontrak keberlakuan menjadi masalah
terutama sehubungan dengan pemenuhan spesifikasi kualitatif. Untuk mengatasi seperti risiko counterparty ini,
Fiqh ulama telah memungkinkan Band al-jazaa (penalti klausa).
c.
Masih dalam pembiayaan Istishnā', pencairan dana dapat disepakati oleh subjek ke fase
yang berbeda dari pembangunan bukan secara penuh pada awal pekerjaan
konstruksi. Ini bisa mengurangi eksposur kredit bank cukup
dengan menyelaraskan pembayaran dengan kemajuan pekerjaan.
d.
Dalam Murābahah, untuk mengatasi risiko counterparty yang timbul dari tidak mengikatnya sifat
kontrak, pembayaran di muka menjadi aspek substansial, dimana biaya Komitmen
telah menjadi fitur permanen kontrak.
e.
Dalam beberapa kontrak, sebagai insentif untuk
meningkatkan kembali pembayaran, keuntungan pada jumlah yang tersisa dari
mark-up diberikan kembali kepada nasabah.
f.
Karena tiadanya sistem litigasi formal, penyelesaian sengketa
adalah salah satu faktor risiko serius di perbankan
syariah. Untuk mengatasi risiko seperti ini, pihak
yang terlibat dalam kontrak dapat menyetujui proses untuk ikut
serta dalam peradilan jika sengketa menjadi tak terelakkan. Hal ini sangat penting sehubungan dengan penyelesaian default, karena restrukturisasi pembiayaan telah tidak dimungkinkan.
g.
Hal ini dapat diusulkan bahwa untuk
menghindari default oleh klien dalam mengambil
kepemilikan barang yang dipesan, kontrak akan mengikat pada klien dan tidak mengikat bank. Saran ini mengasumsikan bahwa Bank akan menghormati kontrak dan menyediakan barang-barang sebagai persetujuan kontrak, bahkan jika kontrak tersebut tidak mengikat. Sebuah usulan alternatif bisa untuk membangun pasar kliring Murābahah (MCM), yang mungkin tidak dapat dihilangkan karena sifatnya tidak mengikat dari Kontrak Murābaah.
kepemilikan barang yang dipesan, kontrak akan mengikat pada klien dan tidak mengikat bank. Saran ini mengasumsikan bahwa Bank akan menghormati kontrak dan menyediakan barang-barang sebagai persetujuan kontrak, bahkan jika kontrak tersebut tidak mengikat. Sebuah usulan alternatif bisa untuk membangun pasar kliring Murābahah (MCM), yang mungkin tidak dapat dihilangkan karena sifatnya tidak mengikat dari Kontrak Murābaah.
h.
Karena kontrak Murābahah disetujui dengan syarat bahwa Bank akan menguasai aset, setidaknya secara teoritis bank memegang aset untuk beberapa waktu. Holding period ini hampir dieliminasi oleh bank syariah dengan menunjuk klien sebagai agen bank untuk
membeli aset. Namun demikian, raison d'être menyetujui kontrak adalah tanggung jawab bank untuk risiko kepemilikan. Oleh karena itu, modal perlu dialokasikan untuk risiko ini. Semua fitur ini kontrak berfungsi untuk mengurangi standar risiko tiap pihak. Fitur serupa dapat meningkatkan kualitas kredit kontrak di berbagai keadaan. Hal ini diinginkan untuk membuat manfaat maksimal dari fitur tersebut dimanapun kontrak baru sedang ditulis.
membeli aset. Namun demikian, raison d'être menyetujui kontrak adalah tanggung jawab bank untuk risiko kepemilikan. Oleh karena itu, modal perlu dialokasikan untuk risiko ini. Semua fitur ini kontrak berfungsi untuk mengurangi standar risiko tiap pihak. Fitur serupa dapat meningkatkan kualitas kredit kontrak di berbagai keadaan. Hal ini diinginkan untuk membuat manfaat maksimal dari fitur tersebut dimanapun kontrak baru sedang ditulis.
E.
RISIKO
PASAR
Seperti disebutkan sebelumnya, risiko pasar terdiri dari risiko
suku bunga, risiko nilai tukar, dan risiko komoditas dan harga ekuitas. Hal ini
yang akan dibahas secara singkat di sini dalam perspektif bank syariah. Hal ini
berlaku umum bahwa tiadanya ketersediaan keuangan berbasis derivatif untuk bank
syariah adalah hambatan utama dalam cara mereka untuk mengelola risiko pasar bila
dibandingkan dengan bank konvensional.
Meskipun
bank syariah tidak melakukan transaksi berbasis bunga, namun mereka menggunakan
tingkat London inter-bank borrowing rate ( LIBOR ) sebagai patokan dalam
transaksinya . Dengan demikian , efek dari perubahan suku bunga dapat ditransmisikan
ke bank syariah secara tidak langsung melalui patokan ini. Dalam kasus
perubahan dalam LIBOR , bank syariah bisa menghadapi risiko ini dalam arti membayar
lebih banyak keuntungan kepada deposan masa depan dibandingkan dengan menerima
penghasilan kurang dari pengguna dana jangka panjang . Oleh karena itu hanya
lebih bijaksana untuk mempertimbangkan bahwa aset bank syariah bisa terkena
risiko perubahan tingkat bunga LIBOR .
Chapra
dan Khan (2000) berpendapat bahwa sifat deposito investasi pada sisi kewajiban (liability)
bank syariah menambah dimensi tambahan untuk risiko ini. Tingkat keuntungan
yang harus dibayar untuk deposan dengan akad mudhorobah oleh bank Islam harus
menghadapi perubahan dalam tingkat pasar suku bunga. Namun, tingkat keuntungan
yang ditunjukkan adalah diperoleh dari asset yang mencerminkan tingkat markup
dari periode sebelumnya. Dengan kata lain, setiap peningkatan pendapatan baru
harus dibagi dengan deposan, tetapi tidak dapat disesuaikan kembali pada sisi
aset dengan re-pricing yang piutang pada tingkat yang lebih tinggi terutama ,
karena pembatasan atas pemberian pembiayaan baru. Implikasinya adalah bahwa
pendapatan bersih mudhorobah bank Islam terkena risiko harga markup . Beberapa
teknik untuk mengurangi Murābaah( mark- up ) risiko harga dibahas di bawah .
Two-step Contracts and GAP Analysis
Dalam
kontrak dua langkah, bank Islam dapat memainkan peran penjamin dalam
memfasilitasi dana untuk pengguna. Karena jaminan tidak dapat diberikan sebagai
kegiatan komersial, di kontrak dua langkah, dapat diberikan oleh Islam partisipasi
bank dalam proses pendanaan sebagai pembeli yang sebenarnya. Dalam Murābahah
adanya kontrak bank membuat pembayaran di muka kepada pemasok pada nama klien.
Dalam kontrak dua langkah bank akan memiliki dua Murābahah kontrak, sebagai pemasok dengan klien dan sebagai pembeli dengan
pemasok yang sebenarnya. Bank maka tidak akan melakukan pembayaran di muka
untuk actual pemasok . Dua langkah kontrak Murābahah akan memiliki sejumlah
implikasi bagi bank.
Floating
Rate Contracts
Kontrak
penjualan dengan tingkatan angsuran tetap biasanya terkena risiko jatuh tempo
yang lebih dibandingkan dengan kontrak dengan angsuran tingkat mengambang
seperti operasi sewa. Untuk menghindari risiko tersebut oleh karena itu,
mengambang sewa tingkat dapat disukai. Namun, terkadang kontrak sewa-menyewa akan
lebih mengekspos bank untuk risiko harga peralatan dan risiko atas barang.
Permissibility
of Swaps
Swap
adalah suatu transaksi / kontrak untuk membeli atau menjual valuta asing lawan
valuta (asing) lainnya pada tanggal valuta tertentu sekaligus dengan perjanjian
untuk menjual atau membeli kembali pada tanggal valuta berbeda di masa yang
akan datang, dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak. Kedua transaksi
tersebut dilaksanakan sekaligus dan dengan counterparty yang sama.
Pertanyaan
terpenting dalam mengevaluasi kontrak swap dari perspektif keuangan Islam adalah,
apakah diperbolehkan bagi dua pihak untuk membayar biaya pendanaan
masing-masing lainnya ? Seperti ditunjukkan, swap pada dasarnya adalah kontrak saling
menguntungkan . Kedua belah pihak memperoleh keuntungan dan karenanya ada tidak
bisa keberatan dari sudut pandang syariah. Jadi kita menyimpulkan bahwa ada
kebutuhan besar untuk kontrak swap.
F.
Peraturan
Pemerintah Terkait Manajemen Resiko Perbankan Syariah
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan
erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Perkembangan
lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin pesat
mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks. Bank
dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui penerapan manajemen
risiko yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Prinsip-prinsip manajemen risiko
yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan
aturan baku yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB).
Penerapan
manajemen risiko pada perbankan syariah disesuaikan dengan ukuran dan
kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Bank Indonesia menetapkan aturan
manajemen risiko ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan
UUS sehingga perbankan syariah dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan
dan tantangan yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan
sesuai dengan Prinsip Syariah.
Pokok-pokok
Pengaturan resiko tersebut sebagaimana terlampir dalam laman resmi Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) adalah
1.
Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan
secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk
UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan
dengan penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS
(BUK induk).
2.
Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup :
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas
Syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen
Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3.
Bank Usaha Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko
yang mencakup 10 risiko, yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas,
Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko
Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan Risiko Investasi
(equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return risk)
dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam
penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan
penilaian terhadap Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian
kedua jenis risiko dimaksud belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk
profile) BUS dan UUS.
4.
Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to
Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High).
5.
Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang
tidak bertentangan dengan prinsip Syariah.
G. Optimalisasi
Peran Dewan Pengawas Syari’ah
Wewenang
dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah sesuai dengan
peraturan BI (2011) paling kurang mencakup:
a.
melakukan
evaluasi (review) atas kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan
Prinsip Syariah; dan
b.
mengevaluasi
pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko yang
terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip
syariah di perlembaga keuanganan syari’ah. DPS bertanggung jawab untuk
memastikan semua produk dan prosedur lembaga keuangan syariah sesuai dengan
prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS tersebut, maka dua Undang-Undang
di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di perusahaan syariah
dan lembaga perlembaga keuanganan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perlembaga
keuanganan Syariah. Dengan demikian secara yuridis, DPS di lembaga perlembaga
keuanganan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan
strategis.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Sejalan dengan
itu, Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang perlembaga keuanganan
syari’ah, pasal 32 menegaskan hal yang sama. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut
kedudukan DPS sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan lembaga
keuangan syariah dan perusahaan syariah di masa kini dan masa mendatang.
Tetapi peran DPS tersebut belum optimal dalam menjalankan pengawasan syari’ah
terhadap operasional perlembaga keuanganan syariah. sehingga berakibat pada
pelanggaran syariah complience, maka citra dan kredibilitas lembaga
keuangan syariah di mata masyarakat bisa menjadi negatif, sehingga dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga keuangan syariah bersangkutan.
Mengutip dari Yulianti (2009) Berdasarkan hasil penelitian Lembaga keuangan
Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young yang dibahas dalam
seminar akhir tahun 2008 di Lembaga keuangan Indonesia, salah satu masalah
utama dalam implementasi manajemen risiko di perlembaga keuanganan syariah adalah peran DPS yang belum optimal. Pernyataan itu
disimpulkan para peneliti sebagai kesenjangan utama manajemen risiko yang harus
diperbaiki di masa depan. Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran
DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced
commercial risk, seperti risiko likuiditas dan risiko lainnya. Shanin
A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation menyatakan bahwa,
risiko terbesar menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang
kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan
kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya.
Oleh karena itu peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan
segala produk dan sistem operasinal lembaga keuangan syariah benar-benar sesuai
syariah. Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan syari’ah, anggota DPS
harus memahami ilmu ekonomi dan perlembaga keuanganan dan berpengalaman luas di
bidang hukum Islam. Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota DPS harus
memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perlembaga keuanganan serta expert di
bidang syariah.
Namun sangat disayangkan, masih terdapat DPS yang belum memahami ilmu ekonomi
keuangan dan perlembaga keuanganan. Selain itu mereka juga masih banyak yang
tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perlembaga
keuanganan syariah. Padahal menurut ketentuannya, DPS bekerja secara independen
dan bebas untuk meninjau dan menganalisa pada semua kontrak
dan transaksi.
Pengalaman selama ini, lembaga keuangan-lembaga
keuangan syariah di Indonesia mengangkat DPS, yakni orang yang sangat terkenal
di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukan syariah), tetapi tidak
berkompeten dalam bidang perlembaga keuanganan dan keuangan syariah. Realitas
ini di satu sisi menguntungkan bagi manajemen perlembaga keuanganan
syariah, karena mereka lebih bebas berbuat apa saja, karena pengawasannya
sangat longgar.
Tetapi harus diakui, bahwa sebagian DPS lembaga
keuangan syariah sudah berperan secara optimal, meskipun masih lebih
banyak yang belum optimal. Inilah yang harus ditangani Lembaga keuangan
Indonesia, DSN MUI dan lembaga keuangan-lembaga keuangan syariah sendiri. Oleh
karena itu, UU yang memposisikan DPS yang demikian strategis, harus
diimplementasikan dengan tepat dan cepat. Untuk itu setiap manajemen lembaga
keuangan syariah harus melakukan formalisasi peran dan keterlibatan DPS
dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan dan prinsip
syariah.
Daftar Pustaka
Best, Philip. Implementing Value at Risk. West Sussex: John
Wiley& Sons Ltd., 1998
Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan (2000), Regulation and
Supervision of Islamic Banks. Jeddah: Islamic Research and Training Institute
and Islamic Development Bank.
Haniffa, R. M. dan M. A. Hudaib. 2007. Exploring the Ethical
Identity of Islamic Banks via Communication in Annual Reports. Journal of
Business Ethics
Karim, Adiwarman A. (2004). Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Khan, Tariqullah dan Ahmed Habib, 2001, Risk Management An Analysis
Of Issues In Islamic Financial Industry, Jeddah - Saudi Arabia, Islamic
Development Bank Islamic Research And Training Institute
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah
Undang-undang Nomer 40 tahun 2007 pasal 109 tentang Perseroan
Terbatas
Yulianti ,
Rahmani Timorita, 2009, Manajemen Risiko
Perbankan Syariah, makalah ini disampaikan pada Studium General MSI UII pada
tanggal 14 maret 2009
[1]
Alasan terbentuknya, the purpose that
justifies a thing's existence
[2]
Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan dicetuskan pada
tahun 1974 yang diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral. Basel adalah
sebuah kota di Swiss tempat para gubernur bank sentral tersebut berkumpul.
kesepakatan basel telah menjadi tolak ukur bagi bank sentral seluruh dunia
dalam merancang regulasi manajemen risiko perbankan yang berlaku di Negara
masing-masing termasuk Indonesia.
Comments
Post a Comment