A.    Pendahuluan
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa resiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Resiko bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss) (1998). Sedangkan resiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman (2004) merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank
Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa lembaga keuangan syariah dapat menghadapi dua jenis risiko yaitu  risiko yang mirip dengan risiko yang dihadapi oleh lembaga keuangan konvensional dan risiko yang khusus terjadi karena mereka menerapkan kesesuaian terhadap syari'at agama Islam. Pembahasan sebelumnya juga telah membahas akan survey lembaga keuangan syariah yang menggunakan manajemen risiko dalam memitigasi risiko yang terjadi terhadap industry keuangannya. Yang memiliki hasil bahwa akad pembiayaan berbasis bagi hasil cenderung lebih berisiko disbandingkan dengan akad yang berbasis jual beli.
Akibatnya teknik identifikasi dan manajemen risiko yang harus tersedia untuk lembaga keuangan syariah menjadi dua jenis. Pertama adalah terdiri dari teknik basic, seperti pelaporan risiko, audit internal dan eksternal, analisis GAP, RAROC, internal rating, dll, yang konsisten dengan prinsip-prinsip Islam keuangan. Tipe kedua terdiri dari teknik yang harus dikembangkan atau diadaptasi dalam pandangan kesesuaian terhadap Kepatuhan syariah.
Oleh karena itu pembahasan teknik manajemen risiko lembaga keuangan syariah menjadi tantangan tersendiri. Dalam sebuah penelitian, tantangan ini tidak dapat sepenuhnya diidentifikasi, namun juga tidak dapat diselesaikan bahkan sebagiannya (2001). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memulai diskusi pada beberapa aspek risiko unik yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah dengan maksud untuk menyoroti tantangan dan prospek menguranginya namun masih dalam kerangka prinsip-prinsip keuangan Islam.
 
B.     Sikap terhadap Risiko
Risiko memiliki arti penting dalam keuangan Islam. Kedua dalil ushulul-fiqh yang menjadi dasar dari keuangan Islam, yaitu  al khirāju bi al-dhamān dan al ghurmu bi al-ghurmi sebenarnya pembahasan yang berbasis pada risiko. Bahwa dari dua Bersama dua aksioma tersebut bahwa untuk mendapatkan sebuah keuntungan diperlukan adanya resiko dengan tanggung jawab kehilangan asset tersebut.
Sedangkan lembaga keuangan yang berbasis pada bunga memisahkan resiko dari tanggung jawab kerugian dengan melindungi kedua jumlah pokok pinjaman serta pengembalian tetap. Oleh karena itu, kontrak ini mentransfer risiko pinjaman kepada peminjam sementara pemberi pinjaman mempertahankan kepemilikan dana. Keuangan Islam melarang pemisahan hak kerugian dari tanggung jawab untuk kepemilikan. Dengan demikian transfer risiko tidak disarankan dan risk sharing dianjurkan.(2001)
Literatur teoritis mencirikan ekonomi Islam dengan PLS, karena itu mengabaikan perbedaan mendasar antara dua jenis risiko dan implikasinya terhadap stabilitas
lembaga keuangan
Islam. Ciri ini berbeda dengan lembaga keungan konvensional yang memiliki skema kreditur-debitur yang berbasis pada peminjaman uang. Ini adalah sifat dari bisnis perlembagan keuangan yang memiliki aset melebihi modal lembaga keuangan beberapa kali. Lembaga keuangan syariah bukan merupakan pengecualian untuk aturan umum ini terutama karena pemanfaatannya deposito permintaan untuk aset pembiayaan. Ulama Islam sepakat bahwa dalam kondisi seperti itu, lembaga keuangan bekerja atas nama deposan harus sangat berhati-hati tentang risks.
            Dari diskusi singkat ini kita dapat memperoleh dua kesimpulan penting mengenai sikap ulama Islam terhadap risiko. Pertama, kewajiban dan tanggung jawab pengembalian dari aset tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Memang, kondisi ini memiliki implikasi yang luas untuk semua kontrak keuangan syariah. kedua, orang biasa tidak menyukai risiko; lembaga keuangan bekerja atas nama mereka harus berhati-hati dan menghindari pengambilan risiko yang berlebihan.

 C.     Toleransi Risiko Keuangan (sebuah perbandingan)
Dari diskusi singkat di atas muncul beberapa pertanyaan terkait mitigasi resiko yang harus dihadapi oleh lembaga keuangan syariah yaitu, Apakah lembaga keuangan syariah menginginkan untuk membawa tingkat resiko keuangan yang sama seperti lembaga keuangan konvensional? Atau karena sifat dari mode Islam keuangan, lembaga keuangan syariah harus terkena risiko lebih dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional?
Sulit untuk membawa praktek dan teori bersama-sama untuk jawaban dari pertanyaan ini. Dari perspektif praktis, lembaga keuangan harus menghilangkan risiko keuangan mereka
jika mungkin. Sebagai contoh, tanpa risiko kredit mereka tidak akan diminta untuk
membagi bagian dari pendapatan mereka saat ini cadangan kerugian kredit
(PPAP). Mereka dapat menggunakan modal yang lebih efisien untuk mengakumulasi aset, dan memaksimalkan tingkat pengembalian ekuitas mereka. Hal ini dapat memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk membayar keuntungan yang lebih tinggi untuk pemegang deposito investasi yang mengambil lebih banyak risiko dibandingkan dengan deposan lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu lembaga keuangan syariah dapat mempertahankan efisiensi kompetitif.
Oleh karena itu, adanya risiko keuangan adalah biaya yang tidak diinginkan untuk
Lembaga keuangan syariah, tepatnya dengan cara yang sama seperti yang diinginkan untuk
lembaga keuangan konvensional. Jika lembaga keuangan syariah harus membawa tingkat risiko keuangan yang sama sebagai  lembaga keuangan konvensional, mereka membutuhkan
penyederhanakan dan pemurnian mode Islam keuangan untuk membuat profil risiko mode ini setara dengan profil risiko kredit konvensional berbasis bunga.(2001)
Namun, dari perspektif teoritis, dalam hal ini, bahwa tantangan adalah sebagai akibat dari penyederhanaan seperti itu dan penyempurnaan mode keuangan Islam dapat kehilangan karakteristik Islam mereka dan karena itulah raison d'etre[1] lembaga keuangan syariah.
Jadi dari perspektif tersebut, mungkin tidak dapat dilakukan.
Hal ini karena semua mode keuangan Islam didasarkan pada transaksi sector riil dan lembaga keuangan diharapkan untuk mengambil tingkat tertentu risiko kepemilikan untuk membenarkan kembalinya keuangan. Untuk sejauh mana keberadaan tingkat yang tak terelakkan ini tambahan risiko di lembaga keuangan syariah dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah akan perlu untuk menjaga tambahan modal dan mengembangkan pengendalian internal dan teknik manajemen risiko yang lebih ketat.
            Pada dasarnya apa saja yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan bank syariah telah diatur oleh beberapa pembuat standar untuk intitusi keuangan Islam.. Bank syariah pun harus konsisten dalam menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip dan nilai Islam. Dalam Haniffa dan Hudaib (2007), disebutkan bahwa terdapat lima perbedaan karakteristik bank syariah dibandingkan kompetitornya (bank konvensional), yaitu: (1) dasar nilai dan filosofi, (2) produk dan layanan yang bebas bunga (3) kesepakatan yang hanya diperkenankan sesuai hukum Islam, (4) fokus pada pengembangan dan tujuan sosial, dan (5) adanya dewan pengawas syariah (DPS).
Kajian  manajemen risiko memang tengah naik daun. Lembaga keuangan termasuk lembaga keuangan syariah, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus memperhatikan cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah. Oleh karena itu lembaga keuangan-lembaga keuangan tengah berupaya pada penerapan manajemen risiko yang merupakan proses berkesinambungan serta memakan banyak pikiran, tenaga, dan uang.
Secara historis penerapan manajemen risiko pada lembaga keuangan, dalam hal ini BI sendiri baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada lembaga keuangan sejak 1992Sementara itu, lembaga keuangan dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem perlembaga keuanganan syariah, hal ini merupakan tantangan yang berat. Lembaga keuangan syariahpun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perlembaga keuanganan konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perlembaga keuanganan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko (2009).
          Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB), telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi lembaga keuangan dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005 yang lalu, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu pada Basel Accord[2] II (yang juga diterapkan perlembaga keuanganan konvensional) dan disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.(2009)
          Lembaga keuangan syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca lembaga keuangan syariah yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan lembaga keuangan syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi lembaga keuangan syariah.
Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah. Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada lembaga keuangan syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik standar yang digunakan lembaga keuangan konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada lembaga keuangan syariah. Beberapa di antaranya, GAP analysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC). (2001)
         Dalam pengembangannya ke depan, perlembaga keuanganan syariah menghadapi tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti, pemilihan instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip syariah termasuk juga instrumen pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai ) terhadap risiko. Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, maka pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko lembaga keuangan konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di lembaga keuangan syariah.

D.    Resiko yang di hadapi lembaga keuangan syariah
Sedikit berbeda dengan apa yang di sampaikan oleh khan dan di kutip oleh pemateri sebelumnya, resiko yang di hadapi oleh lembaga keuangan syariah yang dihadapi sesuai dengan peraturan bank indonesia nomor 13/23/PBI/2011 dimana risiko yang harus dimitigasi oleh lembaga keuangan syariah adalah  (2011)
1.      Risiko Kredit
adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
2.      Risiko Pasar
adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat  iperdagangkan atau disewakan.
3.      Risiko Likuiditas
adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
Risiko likuiditas dikategorikan menjadi (2005):
a.       Risiko Likuiditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan o_setting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau gangguan pasar (market disruption).
b.      Risiko Likuiditas Pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.
4.      Risiko Operasional
adalah Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system, dan/atau adanya kejadian kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
5.      Risiko Hukum
adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
6.      Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
7.      Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, serta Prinsip Syariah.
8.      Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank.
9.      Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat Bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing.

Beberapa cara dalam memitigasi resiko pembayaran tiap akad dalam perbankan syariah
Menurut kana da beberapa cara yang bersifat kasuistik yang dapat memitigasi beberapa resiko pembayaran yang mungkin terjadi pada akad perbankan syariah (2001). Gharar (ketidakpastian hasil yang disebabkan oleh kondisi ambigu pada kontrak pertukaran yang ditangguhkan(angsur)) bisa menjadi ringan dan tidak dapat dihindari, tetapi juga bisa menjadi berlebihan dan menyebabkan ketidakadilan, kegagalan kontrak dan default. Diperlukan perjanjian kontrak yang tepat antara pihak yang terlibat sebagai teknik pengendalian risiko. Sejumlah ini dapat disebut sebagai contoh.
a.       Fluktuasi harga setelah menandatangani kontrak Salam dapat dianggap  sebagai
halangan untuk memenuhi kewajiban kontrak. Oleh karena itu jika harga,
misalnya, gandum setelah penandatanganan kontra
k dan menerima harga di muka, penumbuh gandum akan memiliki keinginan merusak kontrak. Risiko ini dapat diminimalkan oleh klausul dalam kontrak yang menunjukkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang menerima tingkat tertentu pada fluktuasi harga, tetapi di luar itu pihak yang memperoleh akan mengkompensasi pihak yang dirugikan oleh pengaruh pergerakan harga. Di Sudan, sebuah kontrak seperti Pengaturan ini dikenal sebagai Band al-Ihsān (kebaikan klausul) yang kini menjadi fitur biasa dari kontrak Salam.
b.      Dalam Istishnā', kontrak keberlakuan menjadi masalah terutama sehubungan dengan pemenuhan spesifikasi kualitatif. Untuk mengatasi seperti risiko counterparty ini, Fiqh ulama telah memungkinkan Band al-jazaa (penalti klausa).
c.       Masih  dalam pembiayaan Istishnā', pencairan dana dapat disepakati oleh subjek ke fase yang berbeda dari pembangunan bukan secara penuh pada awal pekerjaan konstruksi. Ini bisa mengurangi eksposur kredit bank cukup dengan menyelaraskan pembayaran dengan kemajuan pekerjaan.
d.      Dalam Murābahah, untuk mengatasi risiko counterparty yang timbul dari tidak mengikatnya sifat kontrak, pembayaran di muka menjadi aspek substansial, dimana biaya Komitmen telah menjadi fitur permanen kontrak.
e.       Dalam beberapa kontrak, sebagai insentif untuk meningkatkan kembali pembayaran, keuntungan pada jumlah yang tersisa dari mark-up diberikan kembali kepada nasabah.
f.       Karena tiadanya sistem litigasi formal, penyelesaian sengketa adalah salah satu faktor risiko serius di perbankan syariah. Untuk mengatasi risiko seperti ini, pihak yang terlibat dalam kontrak dapat menyetujui proses untuk ikut serta dalam peradilan jika sengketa menjadi tak terelakkan. Hal ini sangat penting sehubungan dengan penyelesaian default, karena restrukturisasi pembiayaan telah tidak dimungkinkan.
g.      Hal ini dapat diusulkan bahwa untuk menghindari default oleh klien dalam mengambil
kepemilikan barang yang dipesan, kontrak akan mengikat pada klien dan tidak mengikat bank. Saran ini mengasumsikan bahwa
Bank akan menghormati kontrak dan menyediakan barang-barang sebagai persetujuan kontrak, bahkan jika kontrak tersebut tidak mengikat. Sebuah usulan alternatif bisa untuk membangun pasar kliring Murābahah (MCM), yang mungkin tidak dapat dihilangkan karena sifatnya tidak mengikat dari Kontrak Murāba􀂭ah.
h.      Karena kontrak Murābahah disetujui dengan syarat bahwa Bank akan menguasai aset, setidaknya secara teoritis bank memegang aset untuk beberapa waktu. Holding period ini hampir dieliminasi oleh bank syariah dengan menunjuk klien sebagai agen bank untuk
membeli aset. Namun demikian, raison d'être menyetujui kontrak adalah
tanggung jawab bank untuk risiko kepemilikan. Oleh karena itu, modal perlu dialokasikan untuk risiko ini. Semua fitur ini kontrak berfungsi untuk mengurangi standar risiko tiap pihak. Fitur serupa dapat meningkatkan kualitas kredit kontrak di berbagai keadaan. Hal ini diinginkan untuk membuat manfaat maksimal dari fitur tersebut dimanapun kontrak baru sedang ditulis.

E.     RISIKO PASAR
Seperti disebutkan sebelumnya, risiko pasar terdiri dari risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan risiko komoditas dan harga ekuitas. Hal ini yang akan dibahas secara singkat di sini dalam perspektif bank syariah. Hal ini berlaku umum bahwa tiadanya ketersediaan keuangan berbasis derivatif untuk bank syariah adalah hambatan utama dalam cara mereka untuk mengelola risiko pasar bila dibandingkan dengan bank konvensional.
Meskipun bank syariah tidak melakukan transaksi berbasis bunga, namun mereka menggunakan tingkat London inter-bank borrowing rate ( LIBOR ) sebagai patokan dalam transaksinya . Dengan demikian , efek dari perubahan suku bunga dapat ditransmisikan ke bank syariah secara tidak langsung melalui patokan ini. Dalam kasus perubahan dalam LIBOR , bank syariah bisa menghadapi risiko ini dalam arti membayar lebih banyak keuntungan kepada deposan masa depan dibandingkan dengan menerima penghasilan kurang dari pengguna dana jangka panjang . Oleh karena itu hanya lebih bijaksana untuk mempertimbangkan bahwa aset bank syariah bisa terkena risiko perubahan tingkat bunga LIBOR .
Chapra dan Khan (2000) berpendapat bahwa sifat deposito investasi pada sisi kewajiban (liability) bank syariah menambah dimensi tambahan untuk risiko ini. Tingkat keuntungan yang harus dibayar untuk deposan dengan akad mudhorobah oleh bank Islam harus menghadapi perubahan dalam tingkat pasar suku bunga. Namun, tingkat keuntungan yang ditunjukkan adalah diperoleh dari asset yang mencerminkan tingkat markup dari periode sebelumnya. Dengan kata lain, setiap peningkatan pendapatan baru harus dibagi dengan deposan, tetapi tidak dapat disesuaikan kembali pada sisi aset dengan re-pricing yang piutang pada tingkat yang lebih tinggi terutama , karena pembatasan atas pemberian pembiayaan baru. Implikasinya adalah bahwa pendapatan bersih mudhorobah bank Islam terkena risiko harga markup . Beberapa teknik untuk mengurangi Murāba􀂭ah( mark- up ) risiko harga dibahas di bawah .
 Two-step Contracts and GAP Analysis
Dalam kontrak dua langkah, bank Islam dapat memainkan peran penjamin dalam memfasilitasi dana untuk pengguna. Karena jaminan tidak dapat diberikan sebagai kegiatan komersial, di kontrak dua langkah, dapat diberikan oleh Islam partisipasi bank dalam proses pendanaan sebagai pembeli yang sebenarnya. Dalam Murābahah adanya kontrak bank membuat pembayaran di muka kepada pemasok pada nama klien. Dalam kontrak dua langkah bank akan memiliki dua Murābahah kontrak, sebagai pemasok dengan klien dan sebagai pembeli dengan pemasok yang sebenarnya. Bank maka tidak akan melakukan pembayaran di muka untuk actual pemasok . Dua langkah kontrak Murābahah akan memiliki sejumlah implikasi bagi bank.
Floating Rate Contracts
Kontrak penjualan dengan tingkatan angsuran tetap biasanya terkena risiko jatuh tempo yang lebih dibandingkan dengan kontrak dengan angsuran tingkat mengambang seperti operasi sewa. Untuk menghindari risiko tersebut oleh karena itu, mengambang sewa tingkat dapat disukai. Namun, terkadang kontrak sewa-menyewa akan lebih mengekspos bank untuk risiko harga peralatan dan risiko atas barang.
Permissibility of Swaps
Swap adalah suatu transaksi / kontrak untuk membeli atau menjual valuta asing lawan valuta (asing) lainnya pada tanggal valuta tertentu sekaligus dengan perjanjian untuk menjual atau membeli kembali pada tanggal valuta berbeda di masa yang akan datang, dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak. Kedua transaksi tersebut dilaksanakan sekaligus dan dengan counterparty yang sama.
Pertanyaan terpenting dalam mengevaluasi kontrak swap dari perspektif keuangan Islam adalah, apakah diperbolehkan bagi dua pihak untuk membayar biaya pendanaan masing-masing lainnya ? Seperti ditunjukkan, swap pada dasarnya adalah kontrak saling menguntungkan . Kedua belah pihak memperoleh keuntungan dan karenanya ada tidak bisa keberatan dari sudut pandang syariah. Jadi kita menyimpulkan bahwa ada kebutuhan besar untuk kontrak swap.
 
F.      Peraturan Pemerintah Terkait Manajemen Resiko Perbankan Syariah
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Prinsip-prinsip manajemen risiko yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan baku yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB).
Penerapan manajemen risiko pada perbankan syariah disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Bank Indonesia menetapkan aturan manajemen risiko ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS sehingga perbankan syariah dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai dengan Prinsip Syariah.
Pokok-pokok Pengaturan resiko tersebut sebagaimana terlampir dalam laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah
1. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS (BUK induk).
2. Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup :
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. 
3. Bank Usaha Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko yang mencakup 10 risiko, yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan Risiko Investasi (equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan penilaian terhadap Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian kedua jenis risiko dimaksud belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS.
4. Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High).
5. Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah.

G.    Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syari’ah
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah sesuai dengan peraturan BI (2011) paling kurang mencakup:
a.       melakukan evaluasi (review) atas kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan
b.      mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
            Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di perlembaga keuanganan syari’ah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan prosedur lembaga keuangan syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di perusahaan syariah dan lembaga perlembaga keuanganan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perlembaga keuanganan Syariah. Dengan demikian secara yuridis, DPS di lembaga perlembaga keuanganan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis.
          Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Sejalan dengan itu,  Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang perlembaga keuanganan syari’ah, pasal 32 menegaskan hal yang sama.  Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut kedudukan DPS sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan lembaga keuangan syariah dan perusahaan syariah di masa kini dan masa mendatang.
          Tetapi peran DPS tersebut belum optimal dalam menjalankan pengawasan syari’ah terhadap operasional perlembaga keuanganan syariah. sehingga berakibat pada pelanggaran  syariah complience, maka citra dan kredibilitas lembaga keuangan syariah di mata masyarakat bisa menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga keuangan syariah bersangkutan.
          Mengutip dari Yulianti (2009) Berdasarkan hasil penelitian Lembaga keuangan Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young yang dibahas dalam seminar akhir tahun 2008 di Lembaga keuangan Indonesia, salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen risiko di perlembaga keuanganan syariah adalah peran DPS yang belum optimal. Pernyataan itu disimpulkan para peneliti sebagai kesenjangan utama manajemen risiko yang harus diperbaiki di masa depan. Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan risiko lainnya. Shanin A.Shayan  CEO and Board Member of Barakat Foundation menyatakan bahwa, risiko terbesar menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya.
          Oleh karena itu peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segala produk dan sistem operasinal lembaga keuangan syariah benar-benar sesuai syariah. Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan syari’ah, anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan perlembaga keuanganan dan berpengalaman luas di bidang hukum Islam. Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perlembaga keuanganan serta expert di bidang syariah.
          Namun sangat disayangkan, masih terdapat DPS yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perlembaga keuanganan. Selain itu mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perlembaga keuanganan syariah. Padahal menurut ketentuannya, DPS bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan menganalisa pada semua kontrak dan transaksi.
         Pengalaman selama ini, lembaga keuangan-lembaga keuangan syariah di Indonesia mengangkat DPS, yakni orang yang sangat terkenal di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukan syariah), tetapi tidak berkompeten dalam bidang perlembaga keuanganan dan keuangan syariah. Realitas ini di satu sisi  menguntungkan bagi manajemen perlembaga keuanganan syariah, karena mereka lebih bebas berbuat apa saja, karena pengawasannya sangat longgar.
Tetapi harus diakui, bahwa sebagian DPS lembaga keuangan syariah  sudah berperan secara optimal, meskipun masih lebih banyak yang belum optimal. Inilah yang harus ditangani Lembaga keuangan Indonesia, DSN MUI dan lembaga keuangan-lembaga keuangan syariah sendiri. Oleh karena itu, UU yang memposisikan DPS yang demikian strategis, harus diimplementasikan dengan tepat dan cepat. Untuk itu setiap manajemen lembaga keuangan syariah harus melakukan  formalisasi peran dan keterlibatan DPS dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan dan prinsip syariah.

 




Daftar Pustaka
Best, Philip. Implementing Value at Risk. West Sussex: John Wiley& Sons Ltd., 1998
Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan (2000), Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank.
Haniffa, R. M. dan M. A. Hudaib. 2007. Exploring the Ethical Identity of Islamic Banks via Communication in Annual Reports. Journal of Business Ethics
Karim, Adiwarman A. (2004). Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Khan, Tariqullah dan Ahmed Habib, 2001, Risk Management An Analysis Of Issues In Islamic Financial Industry, Jeddah - Saudi Arabia, Islamic Development Bank Islamic Research And Training Institute
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah
Undang-undang Nomer 40 tahun 2007 pasal 109 tentang Perseroan Terbatas
Yulianti , Rahmani Timorita, 2009,  Manajemen Risiko Perbankan Syariah, makalah ini disampaikan pada Studium General MSI UII pada tanggal 14 maret 2009


[1] Alasan terbentuknya,  the purpose that justifies a thing's existence
[2] Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan dicetuskan pada tahun 1974 yang diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral. Basel adalah sebuah kota di Swiss tempat para gubernur bank sentral tersebut berkumpul. kesepakatan basel telah menjadi tolak ukur bagi bank sentral seluruh dunia dalam merancang regulasi manajemen risiko perbankan yang berlaku di Negara masing-masing termasuk Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Lomba Karya Tulis Ilmiah Ekonomi Syari'ah

Amunisi Band

Kungfu Boy